Total Tayangan Halaman

Senin, 19 Oktober 2015

Cerpen Horror, hantu, misteri

DUTY-719 4~SHINE
Karya Ulfa Dwi Khotijah XI GMT & MPL





Jeritan mereka seperti alunan musik rock yang sangat kusuka, tangisan mereka seperti drama telenova yang sangat kubenci. Tapi, itu akan menjadi hal yang sangat indah dan sangat menyenangkan saat dipadupadankan. Tangisan, jeritan, dan darah.  Sayang, waktuku untuk menikmati mereka tidak lama, hanya tiga jam. Sebelum matahari menyingsing aku harus sudah membakar mereka.
                  
           Orang dewasa sekarang tak semenyenangkan dan semenarik dulu. Sekarang, mereka hanya bertahan kurang dari tiga jam. Padahal aku baru separuh jalan. Sudah lima ratus orang yang ikut dalam permainanku. Wanita hamillah yang paling mengasyikan. Apalagi saat aku mencoba mempermainkan perut mereka yang membuncit. Padahal hanya sebuah permainan kecil. Sebuah sayatan di perut. Tapi, mereka sudah menjerit dan memohon agar aku tidak membunuh anak mereka.
           
            Orang dewasa membuatku sangat bosan, mereka menjerit dan memohon untuk tetap hidup. Ada yang mengatakan belum menikah, masih ada keluarga di rumah, banyak hal yang belum dilakukan dan masih banyak lagi. Alasan merekalah yang membuatku berhenti dengan orang dewasa. Anak-anak, wajah mereka yang polos tanpa dosa. Sayangnya tubuh mereka sangat rapuh membuatku hanya bermain selama satu jam.
             
            Apa yang kulakukan hanya sebatas menyayat tubuh rapuh mereka dengan silet. Melihat darah segar mereka mengalir sangat indah. Tubuh mereka hanya bisa meronta dalam jeratan tali. Sayatan kurasa kurang cukup, kugunakan pisau dapur untuk memotong ruas demi ruas jari mereka. Sambil menari diiringi musik rock, aku menikmati darah mereka yang tertinggal di pisau sambil tersenyum layaknya malaikat. Aku tidak pernah memotong kepala atau menusuk jantung mereka. Membuat mereka tidak menjerit, itu sangat  merusak kesenanganku. Aku memotong tangan dan kaki mereka. Bukan di setiap sendi seperti yang dilakukan Psikopat Bodoh, melainkan aku memotongnya tepat di pertengahan tulang, itu sangat menyenangkan. Lalu membawa potongan tubuh mereka ke samping rumahku, membakarnya satu per satu, dan biasanya aku membawa kepala mereka ke bunker bawah tanah sebagai souvenir. Dua ratus delapan belas anak-anak yang sudah ikut serta permainanku. Aku tidak pernah ambil pusing, apakah orangtua mereka akan mencari mereka atau bahkan polisi mencariku. Aku memiliki otak yang cukup jenius untuk mengelabui semua orang. Bahkan orang tuaku sangat menyayangiku, dan membanggakan otak jeniusku. Sayangnya, mereka kini sudah meninggalkanku dan memilih bersenang-senang bersama souvenir yang lain di bunker bawah tanah daripada bersamaku.
                 
            Tengah malam di kamar kedap suara yang temaram terlihat sesosok tubuh remaja yang kutahu dia kelas sepuluh bernama Riyad. Tubuhnya bersinar dengan ikatan yang membekas di kulitnya. Dia sudah siuman satu jam yang lalu. Bahkan dia sudah melihatku mempersiapkan alat-alat untuk bermain. Tapi dia tidak menjerit, bahkan tidak menangis, mungkin saja dia menikmati alunan musik rock kesukaanku.
                 
            Lima belas menit kemudian, sudah ada tujuh sayatan di kakinya tapi dia tidak menangis ataupun menjerit. Merasa kurang puas, aku mengambil jeruk nipis, memotongnya dan memerasnya di atas sayatan yang kubuat. Dia masih bergeming, tanpa suara. Karena saking kesalnya, aku melepaskan sumpalan mulutnya.
                “Kenapa kau tak menangis sayang?” Kataku seramah mungkin padanya.


“...” Dia hanya diam.
“Apakah itu tak terasa sakit sayang?”

“Aku sudah pernah merasakan yang lebih sakit dari ini.” Jawabnya dengan enteng.
“Kau mau aku kepermainan selanjutnya sayang?” Aku membisikkan di telinganya.
“Apa lagi yang akan kamu lakukan? Kamu akan menyayat seluruh tubuhku hingga wajahku, kemudian mencongkel mataku? Atau yang lainnya.” Sial dia menantangku.
“Mencongkel mata?” Aku mengeluarkan senyum malaikatku. “Usul yang bagus, aku belum pernah mencongkel mata seseorang.” Lanjutku.
Aku keluar ruangan dan kembali dengan sepasang garpu di tanganku. Aku menghampirinya dengan wajah datar tanpa ekspresi, kurasa Riyad sedang berdoa kepada Malaikat Kematian. Padahal aku adalah malaikat kematiannya.
“Kau tahu mengapa aku menggunakan sepasang garpu? Jika aku menggunakan pisau, matamu akan langsung keluar, itu tak mnarik. Aku menggunakan garpu, agar sulit mencongkel matamu, dan aku bisa mendengar jeritan indahmu.”
“Terimakasih”
“...” Aku masih bertanya-tanya, kenapa dia masih bisa setenang itu.
“Karena kamu sudah mau membunuhku, walaupun aku harus merasakan penyiksaan. Tapi ini lebih indah daripada aku harus terus berada di rumah sakit, dan menunggu kematian.”
“Kenapa kau tidak menjerit?! Kenapa kau tidak menangis?!” teriakku.
“Kamu tahu? Setiap kehidupan, pasti berakhir kematian. Perbedaannya hanya waktu dan cara seseorang meninggal. Sudah berapa orang yang kamu bunuh?”
“Kau yang ke-719”
“Apakah kamu tidak pernah bisa menghargai kehidupan seseorang?”
“Ada permintaan terakhir sebelum kematianmu?” Aku tidak menggubris pertanyaannya.
“Jawab pertanyaanku, kenapa kau melakukan semua ini?”
“Aku orang yang jenius, aku selalu menjadi yang nomor satu, aku bintang yang bersinar terang. Hingga semua orang membenciku karena mereka iri padaku. Ayahku seorang Koruptor, dan semua orang menjauhi kami. Mereka semua membuatku menangis setiap hari dan aku berharap, aku mati saat itu. Jadi, aku mematikan seluruh perasaan yang kumiliki dan membuat mereka memohon untuk tetap hidup padaku. Aku adalah malaikat kematian untuk mereka dan untukmu, jadi kewajibankulah membunuh kalian semua.” Kataku sambil menangis dan tersenyum dengan wajah dingin.

“Bintang  yang bersinar sangat terang, tidak akan pernah hidup lama, menurutku itu kewajibanmu.” Jawab Riyad dengan senyuman yang tak kumengerti.

 Entah mengapa, seluruh perasaan yang dulu pernah hilang dan mati, kini muncul kembali bersama senyuman Riyad. Wajah orang-orang yang kubunuh terlintas kembali dipikiranku. Seolah-olah aku ikut merasakan penderitaan mereka. Aku menangis.

Sirene mobil polisi meraung raung memecah kesunyian pagi, aku tersadar dan tidak ada jalan untuk kabur dari tempat ini. Menyelesaikan permainan ini atau tidak hasilnya akan sama, PENJARA.
“Maafkan aku. Aku tidak ingin balas dendam denganmu. Tapi salah satu dari orang yang kamu bunuh adalah ibuku. Beliau saat itu sedang mengandung satu-satunya penerus keluarga kami. Kesalahanmu adalah menjadikanku korban ke-719”
Selamat jumpa lagi di kehidupan selanjutnya, Bintang Bersinar.
                              Tertanda
                             Riyad
Tiga bulan sudah aku di penjara. Tidak ada yang menjengukku kecuali dia. Tapi hampir seminggu dia tidak datang. Seorang sipir penjara mendatangiku dengan sepucuk memo yang bertuliskan...
               
Aku tersenyum. Tanpa sadar air mataku jatuh membasahi memo, aku menangis? Hanya karena sebuah memo dari orang yang menjadi mainanku? Ini aneh, aku tak pernah menangis sebelumnya, bahkan saat membunuh kedua orang tuaku. Aku mengamuk dan mulai melukai diriku sendiri, hingga beberapa orang sipir mengamankanku ke Ruang Isolasi. Aku meringkuk dalam dinginnya lantai ruangan ini. Aku menangis sambil tersenyum. Menangis kerena telah membunuh 718 orang dan tersenyum karena inilah hukuman terbaik untukku. Sebuah PENYESALAN seumur hidupku....
                “Korban 719.”

Sabtu, 15 Agustus 2015

Cerpen| Contoh

Maling Tasa      

     Hp-ku membangunkan ku dalam mimpi yang kubayangkan saat aku terlelap. Saat aku intip layar Hp-ku tak kala tulisan dari Ryan membangunkanku pagi ini. " Ada apa Ryan sepagi ini SMS gua".

" Mito beranjak lagi.  Cpt kemari.  :-!



Aku langsung beranjak kamar mandi bersiap untuk berangkat sekolah. Tubuhku yang masih lemas langsungku guyur dengan air sedingin es, sambil memegang shower aku menatap ke cermin kotak yang sudah usang dan pecah. Terlihat wajahku dicermin. Kubayangkan wajahku hampir sama dengan Ryan hanya rambutku hitam lurus, hidung mancung dan bibir lebih kemerahan. Sambil ku bayangkan isi SMS-nya Ryan tadi yang membuat ku langsung bergegas walaupun waktu sebelum subuh aku buru-buru berankat sekolah. Setelah mandi aka langsung lari keluar menuju lemari pakaian dan mengenakan baju sekolah. Setelah berpakaian rapi, tiba tiba bunyi bell terdengar dari luar. Aku langsung meminggul tas dan kubukaan pintu. Seorang gadis berdiri di depan pintu dengan wajah yang bingung melihat jam tangannya. Kubuka pintu dan ku sapa dia. Dia adalah pacarku yang menjemputku untuk segera berangkat. " Ini pasti karna Ryan, kenapa Ryan memberitahu dia. Brengsek tuh anak, sudah berani dia. Apakah pacarku sudah tahu, jika sampai tahu, akan ku pukul dia. " pikirku dalan hati      "Ada apa sayang kok jan 5 gini udah kesini." Tanyaku khawatir. "Kok  sayang khawatir gitu sihh, aku diberitahu oleh Ryan untuk jemput kamu". jawabnya. " Apa? Ryan beritahu kamu !!". " Betitahu apa, aku cuma disuruh untuk jemput kamu. Itu aja. Emang ada apa sayang??". Tidak ada kok. Mari berangkat !"

"Baiklah, dan sekarang giliran kamu sayang yang nyetir mobil" diam sebentar mencari kunci ditas yang kelihatannya tas impor yang mahal " ini dia kuncinys" katanya.

" Yang kamu beli tas lagi, buat apa? Tas mu kan udah banyak" omelku. "Nggak apa-apa hari ini kan hari spesial, jadi aku harus keren, kamu mau si Indah mengalahkanku, yang ada dia makin belagu" jawabnya manja. 

"Ya udah kamu masuk gih" sambil kubuka pintu buat Reren pacarku yang aduhai itu.

Kami berangkat langsung. 15 menit kemudia sampailah di sekolah. Kelihatannya Ryan sudah menunggu. Dia memakai kupluk dan tas samping berditi didepan mobilnya dan si Indah juga kelihatan dengan dandannya yang menor tapi cantik. 

Aku memakirkan mobil dan menjemput Ryan. Ku gandeng tangan Reren supaya mereka lihat betapa romantisnya kami berdua.

"Sudah datang loe" Tanya Ryan. "Nggak usah basa jadi basi deh,  sekarang loe mau gue apa". Sahut ku dengan cepat nan tegas. " Kalian nggak usah berantem atau mau aku laporkan ke BK". Kata Indah.

"Cewek loe berisik amat sih, dasar katrok" kata ku dengan lantang. 

Ryan hanya diam, dan dia mulai mendekat dan memelukku dengan erat. Aku merasa jijik terhadap kelakuannya. Indah dan Reren pun mulai menampakan wajah yang juga jijik. Aku berusaha melepaskan pelukannya yang erat tapi dia malah memelukku dengan erat.

"Loe kenapa sih, lepaskan gua, mmmmh, ugh" akhirnya gua bisa juga lepas dari eratannya. Aku berpikir bahwa dia sudah sinting