DUTY-719 4~SHINE
Karya Ulfa Dwi Khotijah XI GMT & MPL
Jeritan mereka seperti alunan musik
rock yang sangat kusuka, tangisan mereka seperti drama telenova yang sangat
kubenci. Tapi, itu akan menjadi hal yang sangat indah dan sangat menyenangkan
saat dipadupadankan. Tangisan, jeritan, dan darah. Sayang, waktuku untuk menikmati mereka tidak
lama, hanya tiga jam. Sebelum matahari menyingsing aku harus sudah membakar mereka.
Orang dewasa sekarang tak semenyenangkan dan
semenarik dulu. Sekarang, mereka hanya bertahan kurang dari tiga jam. Padahal
aku baru separuh jalan. Sudah lima ratus orang yang ikut dalam permainanku.
Wanita hamillah yang paling mengasyikan. Apalagi saat aku mencoba mempermainkan
perut mereka yang membuncit. Padahal hanya sebuah permainan kecil. Sebuah
sayatan di perut. Tapi, mereka sudah menjerit dan memohon agar aku tidak
membunuh anak mereka.
Orang
dewasa membuatku sangat bosan, mereka menjerit dan memohon untuk tetap hidup.
Ada yang mengatakan belum menikah, masih ada keluarga di rumah, banyak hal yang
belum dilakukan dan masih banyak lagi. Alasan merekalah yang membuatku berhenti
dengan orang dewasa. Anak-anak, wajah mereka yang polos tanpa dosa. Sayangnya
tubuh mereka sangat rapuh membuatku hanya bermain selama satu jam.
Apa
yang kulakukan hanya sebatas menyayat tubuh rapuh mereka dengan silet. Melihat
darah segar mereka mengalir sangat indah. Tubuh mereka hanya bisa meronta dalam
jeratan tali. Sayatan kurasa kurang cukup, kugunakan pisau dapur untuk memotong
ruas demi ruas jari mereka. Sambil menari diiringi musik rock, aku menikmati
darah mereka yang tertinggal di pisau sambil tersenyum layaknya malaikat. Aku
tidak pernah memotong kepala atau menusuk jantung mereka. Membuat mereka tidak
menjerit, itu sangat merusak
kesenanganku. Aku memotong tangan dan kaki mereka. Bukan di setiap sendi seperti
yang dilakukan Psikopat Bodoh, melainkan aku memotongnya tepat di pertengahan
tulang, itu sangat menyenangkan. Lalu membawa potongan tubuh mereka ke samping
rumahku, membakarnya satu per satu, dan biasanya aku membawa kepala mereka ke
bunker bawah tanah sebagai souvenir. Dua ratus delapan belas anak-anak yang
sudah ikut serta permainanku. Aku tidak pernah ambil pusing, apakah orangtua
mereka akan mencari mereka atau bahkan polisi mencariku. Aku memiliki otak yang
cukup jenius untuk mengelabui semua orang. Bahkan orang tuaku sangat
menyayangiku, dan membanggakan otak jeniusku. Sayangnya, mereka kini sudah
meninggalkanku dan memilih bersenang-senang bersama souvenir yang lain di
bunker bawah tanah daripada bersamaku.
Tengah
malam di kamar kedap suara yang temaram terlihat sesosok tubuh remaja yang
kutahu dia kelas sepuluh bernama Riyad. Tubuhnya bersinar dengan ikatan yang
membekas di kulitnya. Dia sudah siuman satu jam yang lalu. Bahkan dia sudah
melihatku mempersiapkan alat-alat untuk bermain. Tapi dia tidak menjerit,
bahkan tidak menangis, mungkin saja dia menikmati alunan musik rock kesukaanku.
Lima
belas menit kemudian, sudah ada tujuh sayatan di kakinya tapi dia tidak
menangis ataupun menjerit. Merasa kurang puas, aku mengambil jeruk nipis, memotongnya
dan memerasnya di atas sayatan yang kubuat. Dia masih bergeming, tanpa suara.
Karena saking kesalnya, aku melepaskan sumpalan mulutnya.
“Kenapa
kau tak menangis sayang?” Kataku seramah mungkin padanya.
“...” Dia hanya diam.
“Apakah itu tak terasa sakit
sayang?”
“Aku sudah pernah merasakan yang
lebih sakit dari ini.” Jawabnya dengan enteng.
“Kau mau aku kepermainan
selanjutnya sayang?” Aku membisikkan di telinganya.
“Apa lagi yang akan kamu lakukan?
Kamu akan menyayat seluruh tubuhku hingga wajahku, kemudian mencongkel mataku?
Atau yang lainnya.” Sial dia menantangku.
“Mencongkel mata?” Aku
mengeluarkan senyum malaikatku. “Usul yang bagus, aku belum pernah mencongkel
mata seseorang.” Lanjutku.
Aku keluar ruangan dan kembali
dengan sepasang garpu di tanganku. Aku menghampirinya dengan wajah datar tanpa
ekspresi, kurasa Riyad sedang berdoa kepada Malaikat Kematian. Padahal aku
adalah malaikat kematiannya.
“Kau tahu mengapa aku menggunakan
sepasang garpu? Jika aku menggunakan pisau, matamu akan langsung keluar, itu
tak mnarik. Aku menggunakan garpu, agar sulit mencongkel matamu, dan aku bisa
mendengar jeritan indahmu.”
“Terimakasih”
“...” Aku masih bertanya-tanya,
kenapa dia masih bisa setenang itu.
“Karena kamu sudah mau
membunuhku, walaupun aku harus merasakan penyiksaan. Tapi ini lebih indah
daripada aku harus terus berada di rumah sakit, dan menunggu kematian.”
“Kenapa kau tidak menjerit?!
Kenapa kau tidak menangis?!” teriakku.
“Kamu tahu? Setiap kehidupan,
pasti berakhir kematian. Perbedaannya hanya waktu dan cara seseorang meninggal.
Sudah berapa orang yang kamu bunuh?”
“Kau yang ke-719”
“Apakah kamu tidak pernah bisa
menghargai kehidupan seseorang?”
“Ada permintaan terakhir sebelum
kematianmu?” Aku tidak menggubris pertanyaannya.
“Jawab pertanyaanku, kenapa kau
melakukan semua ini?”
“Aku orang yang jenius, aku
selalu menjadi yang nomor satu, aku bintang yang bersinar terang. Hingga semua
orang membenciku karena mereka iri padaku. Ayahku seorang Koruptor, dan semua
orang menjauhi kami. Mereka semua membuatku menangis setiap hari dan aku
berharap, aku mati saat itu. Jadi, aku mematikan seluruh perasaan yang kumiliki
dan membuat mereka memohon untuk tetap hidup padaku. Aku adalah malaikat
kematian untuk mereka dan untukmu, jadi kewajibankulah membunuh kalian semua.”
Kataku sambil menangis dan tersenyum dengan wajah dingin.
“Bintang yang bersinar sangat terang, tidak akan
pernah hidup lama, menurutku itu kewajibanmu.” Jawab Riyad dengan senyuman yang
tak kumengerti.
Entah mengapa, seluruh perasaan
yang dulu pernah hilang dan mati, kini muncul kembali bersama senyuman Riyad.
Wajah orang-orang yang kubunuh terlintas kembali dipikiranku. Seolah-olah aku
ikut merasakan penderitaan mereka. Aku menangis.
Sirene mobil polisi meraung raung
memecah kesunyian pagi, aku tersadar dan tidak ada jalan untuk kabur dari
tempat ini. Menyelesaikan permainan ini atau tidak hasilnya akan sama, PENJARA.
“Maafkan aku. Aku tidak ingin
balas dendam denganmu. Tapi salah satu dari orang yang kamu bunuh adalah ibuku.
Beliau saat itu sedang mengandung satu-satunya penerus keluarga kami.
Kesalahanmu adalah menjadikanku korban ke-719”
Selamat jumpa lagi di kehidupan
selanjutnya, Bintang Bersinar.
Tertanda
Riyad
|
Aku tersenyum. Tanpa sadar air mataku
jatuh membasahi memo, aku menangis? Hanya karena sebuah memo dari orang yang
menjadi mainanku? Ini aneh, aku tak pernah menangis sebelumnya, bahkan saat
membunuh kedua orang tuaku. Aku mengamuk dan mulai melukai diriku sendiri,
hingga beberapa orang sipir mengamankanku ke Ruang Isolasi. Aku meringkuk dalam
dinginnya lantai ruangan ini. Aku menangis sambil tersenyum. Menangis kerena
telah membunuh 718 orang dan tersenyum karena inilah hukuman terbaik untukku. Sebuah
PENYESALAN seumur hidupku....
“Korban
719.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar